Santer diberitakan di berbagai media massa bahwa Pemerintah
sudah mulai menerapkan Kurikulum 2013 di berbagai daerah, terhitung sejak Tahun
Ajaran 2013/2014. Implementasi Kurikulum 2013 ini dilakukan secara bertahap
mulai tahun ajaran 2013/2014 berdasarkan UU Nomor 81A tahun 2013 tentang
implementasi kurikulum. Meski belum menyeluruh, pelaksanaannya cukup membuat
opini publik bermunculan, terutama dari kalangan pendidik (guru). Opini
tersebut beragam, mulai dari dukungan mereka terhadap pembaharuan di bidang
pendidikan ini maupun ketidaksetujuan mereka dengan program yang dicanangkan
secara mengejutkan ini.
Kurikulum 2013 dilaksanakan karena tujuan dalam KTSP tahun
2006 belum mencapai hasil yang diinginkan. Kemampuan yang dihasilkan dari
setiap lulusan untuk semua jenjang pendidikan hanya mengunggulkan aspek kognitif
saja, sementara aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan. Tak heran
jika banyak terjadi kasus pelanggaran di kalangan pelajar akibat kurangnya
penanaman karakter yang baik bagi siswa saat di sekolah.
Di kalangan pelajar, mata pelajaran dalam KTSP tahun 2006
cukup memberatkan mereka. Banyaknya standar kompetensi yang harus dicapai oleh
masing-masing siswa membuat mereka kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Satu
kompetensi baru mereka capai sementara kompetensi lain harus sudah mereka
kuasai. Jika hasil yang mereka capai hanya sebatas KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimal), maka kemampuan yang mereka kuasai pun hanya sebatas KKM, tidak lebih
dari itu. Hal ini membuat siswa sulit mengembangkan potensi yang ada pada
dirinya.
Tak hanya itu, adanya UTS, UAS, bahkan UN pun cukup
membuat siswa merasa stress dalam
belajar. Di samping materi yang diujikan begitu banyak, nilai pun menjadi
patokan dalam mengakumulasi hasil akhir. Alhasil, orientasi siswa hanya pada
nilai semata. Mereka menghalalkan segala cara agar mendapatkan hasil yang
memuaskan tanpa peduli dengan cara yang mereka lakukan. Menyontek menjadi budaya
di kalangan pelajar. Ditambah lagi dengan perkembangan gadget yang kini justru mempermudah siswa menyimpan materi
pelajaran di dalamnya dan disalahgunakan.
Sikap individualis di kalangan pelajar semakin
menjadi-jadi. Nilai tinggi menjadi ajang prestisius di kalangan siswa. Lembaga
penyelenggara bimbingan belajar laris manis diisi pelajar-pelajar yang
menginginkan nilai bagus dalam menjawab soal. Dengan belajar cara cepat
mengerjakan soal, siswa dengan mudah menyelesaikan soal-soal yang ia hadapi. Namun,
siswa tidak memperhatikan proses. Cara belajarnya boleh dibilang instan.
Karena orientasi pada hasil inilah yang menyebabkan siswa
tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Penanaman moral yang kurang menjadi
penyebab banyaknya kasus kekerasan maupun kriminalitas di kalangan pelajar.
Tawuran di mana-mana, kekerasan, bahkan tindak asusila pun banyak dilakukan
oleh pelajar. Kesadaran akan pentingnya norma-norma yang berlaku di masyarakat
tidak dipedulikan. Pelajar yang tak bersalah menjadi sasaran.
Di kalangan guru, beban mengajar pun juga cukup
memberatkan siswa. Menjelaskan seabrek materi dengan kemampuan siswa yang
berbeda-beda cukup memberatkan guru dalam mengajar. Standar kompetensi yang
banyak dan sulit masih menjadi kendala bagi guru dalam menyusun RPP. Meski
dalam KTSP guru dibebaskan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan potensi
yang ada di daerahnya masing-masing, kemampuan guru pun masih menjadi
penghalang dalam mengembangkannya.
Perlu diketahui bahwa kompetensi guru di Indonesia belum
cukup memuaskan. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi sosial, profesional,
pedagogik, dan kepribadian. Meski sudah diadakan program peningkatan kompetensi
guru baik melalui seminar, lokakarya, penataran, dan sebagainya, hal itu belum
memberikan pengaruh yang signifikan di kalangan guru.
Masih banyak guru yang masih terpaku dengan metode pengajaran
konvensional. Ceramah masih menjadi cara andalan bagi para guru dalam
menyampaikan materi kepada peserta didik. Hal ini tidak sejalan dengan KTSP
yang mengharapkan setiap guru dapat mengembangkan kegiatan pembelajaan sesuai
dengan kebutuhan masing-masing. Banyaknya buku cetak sebagai bahan ajar justru
membuat guru bingung mau menggunakan yang mana sebagai bahan ajar.
Sarana prasarana pun belum mendukung jalannya KTSP tahun
2006. Masih banyak sekolah-sekolah yang belum memiliki sarana dan prasarana
yang lengkap. Bangunan pun banyak yang reyot dan tidak layak dijadikan sebagai
tempat belajar. Hal ini cukup menghambat kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Menurut Buku Pedoman Implementasi Kurikulum 2013, di
dalam implementasi KTSP tahun 2006 dijumpai beberapa masalah sebagai berikut.
1.
Konten kurikulum masih terlalu padat
yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang
keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak.
2.
Kurikulum belum sepenuhnya berbasis
kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
3.
Kompetensi belum menggambarkan secara
holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
4.
Beberapa kompetensi yang dibutuhkan
sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi
pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan)
belum terakomodasi di dalam kurikulum.
5.
Kurikulum belum peka dan tanggap
terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun
global.
6.
Standar proses pembelajaran belum
menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang
penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat
pada guru.
7.
Standar penilaian belum mengarahkan pada
penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas
menuntut adanya remediasi secara berkala.
8.
Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum
yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, kurikulum 2013 diselenggarakan untuk mendukung perkembangan zaman.
Perubahan zaman yang ada harus diikuti juga dengan sistem pendidikan di
Indonesia. Artinya sistem pendidikan di Indonesia harus menyesuaikan dinamika
sosial di kalangan masyarakat global saat ini agar tidak ketinggalan.
Menurut M. Nuh, pengembangan kurikulum 2013 diharapkan dapat menjadi
jawaban untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia menghadapi perubahan dunia. Pengembangan kurikulum 2013 sudah melalui proses
panjang dan ditelaah sehingga saatnya disampaikan ke publik agar dapat bisa
memberi pandangan lebih sempurna. Dengan segala konsekuensinya, perubahan
kurikulum yang akan dimulai 2013 harus dilakukan jika tidak ingin kualitas SDM
Indonesia tertinggal. (ditulis oleh Hidayat
Jayagiri dalam http://www.hidayatjayagiri.net/2012/12/kurikulum-2013-latar-belakang-perubahan.html).
Orientasi Kurikulum 2013 adalah tercapainya kompetensi yang seimbang
antara sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Sikap menjadi hal yang diutamakan
dalam pengembangan kurikulum ini karena memang akhlak terpujilah yang hendak dibentuk
sebagai produk Kurikulum 2013 ini. Harapannya dengan akhlak dan moral yang baik
itulah generasi muda dapat menjadi manusia seutuhnya yang cerdas dengan tetap
berpengetahuan dan memiliki keterampilan yang berguna bagi masyarakat.
Tujuan yang ada di dalam Kurikulum 2013 sangat mulia.
Dengan mengutamakan ketercapaian pada aspek afektif dapat membangun karakter
generasi Indonesia sesuai tujuan Pendidikan Nasional. Dalam Kurikulum 2013
sudah tidak mengenal istilah standar kompetensi. Kini berganti nama menjadi
kompetensi inti. Kompetensi inti di setiap kelas adalah sama.
Kompetensi inti menjadi pengukur keberhasilan siswa
apakah ia sudah mencapai kompetensi inti yang diharapkan atau belum. Untuk itu,
kegiatan pembelajaran didasarkan pada kompetensi dasar dan indikator yang ada
pada setiap mata pelajaran. Pembelajaran pun bersifat tematik integratif,
artinya dalam satu kegiatan pembelajaran mencakup beberapa mata pelajaran yang
terintegrasi dan saling melengkapi.
Di sini siswa akan merasa ringan karena buku yang mereka
milikki cukup satu, yaitu buku siswa. Buku ini dapat digunakan sebagai petunjuk
kegiatan siswa selama kegiatan belajar. Lain halnya dengan KTSP tahun 2006,
setiap mata pelajaran harus ditunjang dengan satu buku cetak. Hal ini cukup
memberatkan siswa dan menganggu kesehatan tubuhnya karena membawa beban yang
berat di setiap harinya.
Pengembangan Kurikulum 2013 tidak berbasis hafalan lagi, melainkan
menggunakan pendekatan ilmiah atau yang kita kenal dengan scientific approach. Pendekatan itu meliputi mengamati, menanya, menalar,
mencoba, dan membentuk jejaring yang harus diterapkan di semua jenjang
pendidikan di Indonesia. Mata pelajaran pun sedikit mengalami perubahan.
Dalam artikel yang ditulis oleh Hidayat Jayagiri, rencananya
pada Kurikulum 2013 ini, pengurangan mata pelajaran sekolah akan terjadi di
tingkat SD dan SMP. SMP yang semula mempunyai 12 mata pelajaran, pada tahun
2013 hanya akan mempunyai 10 mata pelajaran. 10 mata pelajaran tersebut yakni
Pendidikan Agama, Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika,
IPA, IPS, Bahasa Inggris, Seni Budaya dan Muatan Lokal, Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan, dan Prakarya. Adapun dari sisi jam pelajaran, kurikulum baru ini
akan menambah panjangnya jam pelajaran. Untuk SD kelas 1 dari 26 jam per minggu
menjadi 30 jam. Untuk kelas 2 SD dari 27 jam menjadi 32 jam. Sedangkan untuk
kelas 3 SD dari 28 jam menjadi 34 jam, sementara kelas 4, 5, 6 SD dari 32
menjadi 36 jam per minggu.
Untuk SD,
terjadi perubahan dari 10 mata pelajaran menjadi hanya enam. Keenam mata
pelajaran itu adalah Matematika, Bahasa Indonesia, Agama, Pendidikan Jasmani,
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Kesenian. Sedangkan IPA dan IPS
menjadi tematik di pelajaran-pelajaran lain.
Di tingkat SMP,
pemberian pelajaran akan mempergunakan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) di dalam kelas.
Kebijakan ini memungkinkan pemakaian laptop di dalam kelas
oleh siswa. Dengan harapan, wawasan siswa dapat semakin terbuka.
Sementara di tingkat SMA,
siswa mendapatkan mata pelajaran wajib dan mata pelajaran
pilihan. Dari sistem pendidikan ini, per jurusan dijenjang pendidikan SMA tidak
dilakukan. Jumlah jam untuk siswa SMK hanya bertambah sekitar 2 jam per minggu.
Khusus di SMK, penyesuaian jenis keahlian akan disesuaikan dengan kebutuhan
pasar atau tren saat ini. Namun seluruh siswa SMK ditiap jurusan akan
mendapatkan mata pelajaran umum. (Sumber : http://www.hidayatjayagiri.net/2012/12/kurikulum-2013-latar-belakang-perubahan.html).
Perlu diketahui bahwa Kurikulum 2013 ini baru diberlakukan untuk kelas 1
dan 4 untuk sekolah dasar, kelas VII SMP, baik di bawah Kemendikbud maupun
Kementerian Agama, baik swasta maupun negeri. Sementara untuk kelas lain masih
bertahap. Kabarnya untuk tahun depan kurikulum ini akan diterapkan di kelas 2
dan 5 sekolah dasar. Belum ada penerapan Kurikulum 2013 di kelas tinggi karena
dianggap sedang mempersiapkan Ujian Nasional. Kemungkinan tiga tahun ke depan
kurikulum ini sudah berlaku di semua tingkat di setiap jenjang pendidikan.
Yang menjadi permasalahan dari pelaksanaan Kurikulum 2013
ini adalah, sudah siapkah guru dan siswa menggunakannya dalam kegiatan
pembelajarannya? Permasalahan tentang guru masih sama seperti pada KTSP tahun
2006. Pemerintah memang sudah menyiapkan buku guru sebagai pedoman guru dalam
kegiatan pembelajaran, tapi sudahkah mereka memahami isi di dalamnya ?
Buku guru yang diberikan kepada guru sudah disusun sedemikian
rupa yang tujuannya memudahkan guru selama mengajar. Setiap kegiatan
pembelajarannya pun sudah ditentukan sehingga guru tidak perlu mengembangkan
lagi bahan ajarnya. Hal tersebut memang terkesan memperingan tugas guru, tetapi
di sisi lain hal tersebut dapat mematikan kreativitas guru. Selain itu, masih
banyak ketidaksesuaian antara KD, indikator, dan kegiatan pembelajarannya di
beberapa tema. Boleh dibilang ini akan menjadi malpraktik jika buku yang
dijadikan acuan saja isinya masih salah.
Jika di dalam KTSP tahun 2006 guru bebas mengembangkan
bahan ajar sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah masing-masing (sesuai
dengan otonomi daerah), sementara dalam Kurikulum 2013 guru hanya dapat
mengembangkan bahan ajar yang memang sudah ditentukan dari pemerintah pusat.
Padahal yang kita tahu bahwa potensi dan kebutuhan di setiap daerah di
Indonesia berbeda-beda. Bukankah hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip
diversifikasi yang tercantum dalam amanat UU Sikdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab X mengenai kurikulum
pasal 36 ayat 2 “kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan
dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah,
dan peserta didik”.
Kita tidak perlu lagi mempertanyakan keadaan Indonesia
yang memang sudah jelas berbeda-beda baik dari segi SDM, SDA, dan potensi
daerahnya. Jika Kurikulum 2013 mengatur kegiatan pembelajaran secara
sentralistik bukankah itu akan sulit dilaksanakan mengingat keadaan bangsa kita
yang memang pluralistik? Penyamarataan berdampak kurang baik jika keadaan
bangsa kita masih belum stabil seperti sekarang ini.
Ketidaksiapan guru untuk menerapkan Kurikulum 2013 di
sekolah masing-masing bisa menjadi malapetaka. Pasalnya guru adalah ujung
tombak pendidikan. Kegiatan di kelas tidak akan berjalan dengan baik jika guru
tidak dapat mendidik dengan baik. Jika guru sendiri masih bingung dengan bahan
ajar yang harus disampaikan, bagaimana dengan siswanya sendiri? Mereka juga
akan bertambah bingung dengan materi yang mereka dapatkan.
Keadaan seperti itulah yang menyebabkan opini publik
tidak setuju dengan impelentasi Kurikulum 2013 yang mereka anggap dadakan ini.
Dalam artikel yang ditulis oleh Aripianto, Wakabid
Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru, dijelaskan bahwa Kurikulum 2013 amat sentralistik,
bertentangan dengan semangat reformasi yang menghendaki desentralisasi, yaitu
desentralisasi pengelolaan pendidikan. Belum ada riset dan evaluasi yang
mendalam dan sungguh-sungguh tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), baik berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
maupun Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. (Sumber
: http://www.lensaindonesia.com/2012/12/23/kontroversi-kurikulum-2013.html)
Jika kita lihat, keberjalanan KTSP hingga tahun 2013
kemarin kurang lebih baru tujuh tahun. Dalam periode sesingkat itu kurikulum
sudah diubah, sementara hasil dari KTSP pun belum terlihat jelas. Berkaca dari
negara-negara berpendidikan maju seperti Jepang dan Korea Selatan, mereka
mengganti kurikulum dalam kurun waktu seratus tahun sekali. Jangka waktu
perubahan kurikulum memang sangat lama agar hasil dari kurikulum tersebut
terlihat dengan jelas dan dapat dievaluasi setiap tahunnya.
Kurikulum di Indonesia yang terus berubah-ubah
menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menentukan kebijakan mengenai
pendidikan di Indonesia. Jika kita amati Indonesia sudah mengalami perubahan
kurikulum sebelas kali, terhitung sejak tahun 1947. Yang paling mencengangkan
adalah pergantian KBK tahun 2004 menjadi KTSP tahun 2006. Padahal dalam kurun
waktu dua tahun belum dapat menghasilkan lulusan, tetapi sudah diganti begitu
saja. Alasannya karena KTSP lebih membebaskan guru dalam menyusun silabus. Jika
tujuan KTSP sudah disesuaikan dengan otonomi daerah sesuai dengan asas
desentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah, mengapa kini diubah menjadi
kurikulum yang lebih mengarah ke asas sentralisasi ?
Jika memang penerapan Kurikulum 2013 ini bertujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, mengapa
lewat kurikulum? Apakah kurikulum yang bagus menjamin peningkatan mutu pendidikan
secara nasional? Tidakkah pemerintah melihat kesiapan siswa, guru, dan sarana
prasarana sekolah dalam menghadapi
kurikulum yang baru?
Memang benar jika pendidikan karakter saat ini menjadi
hal yang sangat diperlukan dalam rangka memperbaiki karakter bangsa. Lewat
Kurikulum 2013 inilah pemerintah mencoba membangun karakter bagsa yang
diharapkan itu. Tapi, jika pelaksanaannya terkesan mendadak seperti sekarang,
sementara hasil dari KTSP tahun 2006 belum dapat dijadikan bahan evaluasi untuk
mengubah kurikulum, hal tersebut sama saja. Jangan sampai kejadian pergantian
kurikulum dalam kurun waktu dua tahun saja terulang kembali.
Pemerintah perlu mengkaji ulang hal-hal apa saja yang
perlu dipersiapkan jika akan mengganti kurikulum. Siswa, guru, sarana
prasarana, serta komponen sekolah lainnya perlu disiapkan lagi agar mereka
dapat menerima dan melaksanakan kurikulum baru ini. Pemerintah perlu menyiapkan
program-program yang terbaik untuk menyosialisasikan kurikulum baru ini,
khususnya kepada guru sebagai saka utama penyelenggara pendidikan. Pemerintah
juga perlu meningkatkan kualitas para pendidiknya terlebih dahulu. Mutu guru
yang bagus menjamin peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Orang tua dan masyarakat juga memiliki andil besar
terhadap pelaksanaan kurikulum. Jangan sampai kurikulum yang baru justru
membebani orang tua dalam mendidik anaknya di rumah. Masyarakat sebagai
pengawas pendidikan pun tidak boleh diremehkan. Produk dari kurikulum nantinya
akan terjun di masyarakat. Jika mereka tidak menerima produk tersebut, hal itu
menambah beban lagi bagi pemerintah dalam memperbaiki mutu pendidikan.
Jika semua komponen sekolah telah menerimanya dan memiliki kesamaan dalam memahaminya,
kuikulum ini dapat diterapkan sehingga sudah tidak ada lagi istilah multitafsir
di antara mereka. Namun, Kurikulum 2013 yang sudah disusun sebaik mungkin
diterapkan di Indonesia sementara guru dan siswanya sendiri belum dapat
menerimanya, haruskah diterapkan sekarang?
0 komentar " Implementasi Kurikulum 2013, Haruskah Sekarang?", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar