Al Qur’an dan Pendidikan Anak Sholeh

Ditulis oleh: -


Semua orang Islam (muslim) berkeinginan memiliki anak sholeh, berakhlak mulia, yang dapat mendoakan kedua orang tuanya, birrul walidain. Islam memberi petunjuk bahwa anak adalah amanah yang dibebankan kepada masing-masing orang tua agar dididik sebaik-baiknya. 
Menunaikan amanah itu ternyata tidak mudah. Kesulitan itu dirasakan oleh hampir semua orang. Tidak sulit menemukan kelu¬han orang tua, seperti misalnya anaknya sering membolos, berani kepada orang tua, serba menuntut yang berlebihan, sholat lima waktu tidak tertib, belum dapat membaca al Qur^an secara lan¬car, dan bahkan lebih dari itu, tidak sedikit anak-anak diten¬garai melakukan perilaku menyimpang seperti terlibat minum obat terlarang, dan sebagainya. 

Problem seperti itu, kian hari bukanlah semakin berkur¬ang, malah sebaliknya justru berkembang. Jika kita sempat mengikuti hasil penelitian tentang kehidupan remaja, surat kabar, majalah, atau bahkan juga perbincangan informal dalam berbagai kesempatan, kehidupan anak-anak dan remaja semakin memprihatinkan. Kenakalan anak, remaja, dan bahkan yang mengin¬jak dewasa, terjadi di mana dalam bentuk yang beraneka ragam. Menghadapi persoalan ini, timbul pertanyaan, apa yang salah dalam pelaksanaan pendidikan kita, baik yang ada di rumah tangga, di sekolah, atau di masyarakat. 

Disinyalisasi bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pendidikan cukup banyak. Di antaranya, informasi yang semakin terbuka luas, pengaruh oleh budaya materialisme dan hedonisme, nilai-nilai religius ataupun budaya luhur yang semakin terabaikan dan bahkan ditinggalkan, ditambah pendidikan yang sulit ditingkatkan kualitasnya. Itu semua ditengarai berpengaruh terhadap perilaku anak-anak atau remaja yang sedang berkembang, terutama dari kejiwaannya. 

Orang tua, para tokoh masyarakat, dan juga pemuka agama akhir-akhir ini merasa terpanggil untuk mencari jalan keluar dari persoalan semua itu. Rupanya pendidikan dipandang sebagai faktor yang dianggap menjadi variabel yang harus memperoleh perhatian serius. Jika demikian maka pertanyaan yang segera muncul adalah, pendidikan seperti apa yang relevan dengan tantangan saat ini, baik dari tataran konsep maupun operasionalnya. 

Mencandra Pendidikan Saat ini 

Mengamati pendidikan yang berkembang saat ini, maka akan diperoleh gambaran, bahwa dalam beberapa hal, kurang menyenang¬kan. Pendidikan, selain bersifat parsial, prakmatis, tetapi dalam banyak hal bersifat paradoks. Fenomena yang tampak par¬sial, pendidikan terlihat lebih sebatas mengembangkan intelektual dan ketrampilan. Padahal kehidupan seseorang tak cukup jika hanya dibekali dengan ilmu dan ketrampilan. Cukup banyak bukti, bahwa seseor¬ang yang memiliki kekayaan ilmu dan ketrampilan, jika tidak dilengkapi dengan kekayaan akhlak atau moral, maka justru ilmu dan ketrampilan yang dimiliki akan melahirkan sikap-sikap individualistik dan materialistik. Dua sifat ini jika tumbuh dan berkembang pada diri seseorang akan menampakkan perilaku yang kurang terpuji seperti serakah, tidak mementingkan orang lain, kurang peduli pada etika, dan akan menghilangkan sifat-sifat manusiawi yang seharusnya lebih dikembangkan. 

Pendidikan yang berorientasi praktis dan prakmatis tampak dengan jelas dari orientasi yang dikembangkan. Isu pendidikan lebih banyak terkait dengan lapangan kerja. Muncullah kemudian konsep-konsep yang terkait dengan lulusan siap pakai, siap kerja, siap latih, dan sejenisnya. Selain itu orang mengukur hasil pendidikan dengan ukuran-ukuran yang sederhana, seperti misalnya berapa lama kuliah dapat diselesaikan, berapa indeks prestasi yang dapat dicapai, berapa nilai UN, dan sejenisnya. Pendi¬dikan disebut berhasil jika lulusannya cepat diterima di lapan¬gan kerja, dan bergaji tinggi. Padahal, bukankah ukuran-ukuran seperti itu, sesungguhnya adalah jauh dari konsep yang lebih luhur, misalnya agar bertaqwa, beriman, berbudi luhur, berpen¬getahuan luas, dan seterusnya. Jika ukuran-ukuran yang selama ini dikembangkan masih bersifat sederhana seperti yang disebutkan itu, maka makna pendidikan belum menyentuh aspek yang lebih substansi atau yang lebih bersifat hakiki. 

Kelemahan lainnya ialah pendidikan berjalan secara parad¬oks. Jika pendidikan sesungguhnya adalah proses peniruan, pembiasaan, dan penghargaan maka yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari justru sebaliknya. Uswah hasanah yang seharusnya didapatkan oleh anak-anak ternyata tidak mudah diperoleh. Sekali lagi contoh atau uswah hasanah masih sulit didapat oleh anak. Orang tua demikian mudah beralasan tatkala meninggalkan kegiatan yang juga dianjurkan agar dilaksanakan oleh anak-anaknya. Selain uswah hasanah yang juga sulit diwujudkan adalah proses pembiasaan yang bernuansa pendidikan Islam. Kegiatan seseorang biasanya terpola oleh kebiasaan yang dilakukan. Jika seseorang terbiasa ke masjid setiap mendengar adzan, maka ia akan merasa tidak enak jika meninggalkan kebiasaan itu, dan sebaliknya. Kenyataan yang banyak kita saksikan adalah justru terbiasa meninggalkan panggilan adzan itu. 

Manusia Seutuhnya 

Konsep manusia seutuhnya pernah dijadikan jargon pembangu¬nan. Pendidikan, misalnya, harus mampu mengantarkan anak manu¬sia menjadi manusia yang utuh. Begitu pula, pembangunan nasion¬al diarahkan agar mampu meningkatkan kualitas manusia seutuhn¬ya. Tetapi yang patut dipertanyakan adalah, apakah yang dimak¬sud dengan manusia seutuhnya itu. Benarkah konsep itu telah dipahami sepenuhnya ? 

Manusia utuh berarti tidak partial, frakmental, apalagi split personality. Utuh artinya lengkap, meliputi semua hal yang ada pada diri manusia. Manusia memerlukan pemenuhan kebu¬tuhan jasmani, rokhani, akal, dan juga pengembangan ketrampli¬lan. Manusia membutuhkan saluran pengembangan intelektrualnya agar memiliki kepintaran dan kecerdasan. Manusia membutuhkan jasmani yang sehat, oleh karena itu diperlukan gizi, olah raga, dan zat lain untuk menyegarkan tubuh. Selain itu, manusia juga memerlukan pemenuhan kebutuhan spiritual ---berkomunikasi atau berdialog dengan Dzat Yang Maha Kuasa. Manusia memerlukan keindahan atau aestetika. Lebih dari itu semua, manusia juga memerlukan penguasaan ketrampilan tertentu agar ia dapat berkarya baik untuk memenuhi kepentingan diri maupun orang lain. 

Semua kebutuhan itu harus dapat dipenuhi secara seimbang. Tidak dapat sebagian saja dipenuhi dengan meninggalkan kebutu¬han yang lain. Orang tidak cukup hanya sekedar cerdas dan terampil, tetapi dangkal sepiritualitasnya. Begitu pula seba¬liknya, tidak cukup seseorang memiliki kedalaman sepiritual, tetapi tidak memiliki kecerdasan dan keterampilan. Tegasnya, istilah manusia utuh adalah manusia yang dapat mengembangkan berbagai potensi positif yang ada pada dirinya itu. 

Jika pemahaman terhadap manusia seutuhnya seperti itu yang dijadikan pegangan maka pendidikan harus mengembangkan berbagai aspek itu. Pendidikan tak dibolehkan hanya mengembangkan satu aspek, tetapi melupakan aspek lainnya. Artinya, tidak selayakn¬ya pendidikan hanya memprioritaskan pengembangan keagamaan dengan maksud meningkatkan budi pekerti atau akhlak, tetapi mengesampingkan pengembangkan intelektualitasnya. Hal yang sama tidak dibolehkan jika pendidikan hanya mengedepankan pengemban¬gan kecerdasan dan ketrampilan dan mengabaikan pengembangan sepiritualitasnya lewat pendalaman dan penghayatan agama. 

Di Indonesia ini terjadi dualisme dalam penyelenggaraan pendidikan. Terdapat sekolah yang diselenggarakan oleh Diknas yang disebut dengan sekolah umum. Selain itu terdapat sekolah yang berada di bawah Departemen Agama, berupa madrasah dan pondok pesantren. Pada sekolah umum sekalipun diajarkan agama, namun jumlah jam pelajaran yang disediakan amat kecil. Demikian pula sebaliknya di pondok pesantren, lebih mengutakan pendidi¬kan agama, dan dalam banyak kasus tidak memberikan pengetahuan umum. Sedangkan madrasah, akhir-akhir ini sudah dilakukan perbaikan kurikulum dengan memberikan pengetahuan umum dan agama secara seimbang, atau sama banyak jumlahnya. Hanya saja, menyangkut terakhir ini, belum ditemukan pola pendidikan agama yang lebih produktif. Kegiatan yang terjadi baru berupa penga¬jaran agama, belum memberikan nuansa pendidikan yang lebih komprehensif. 

Sebetulnya, sedikitnya porsi pendidikan agama di sekolah tidak mengapa, asalnya kekurangan itu dapat ditambal oleh kegiatan di keluarga atau di masyarakat. Hanya saja dalam kenyataannya, pendidikan agama di keluarga ataupun di masyara¬kat sudah semakin melemah. Atas dasar alasan-alasan kesibukan orang tua atau juga keterbatasan pemahaman agama yang dialami, pendidikan agama di keluarga tak dapat dimaksimalkan. Demikian pula pendi¬dikan agama di masyarakat, bahwa kegiatan mengaji di langgar, musholla, masjid, tampaknya sudah semakin berkurang, tidak saja di perkotaan tetapi juga di pedesaan. 

Kenyatan seperti itu menjadikan pendidikan yang utuh semakin sulit diperoleh. Yang terjadi adalah pendidikan berja¬lan secara terpragmentasi atau perpilah-pilah yang mengedepan¬kan sebagian dan mengabaikan bagian lainnya. Fenomena seperti ini berakibat pada rendahnya pemahaman dan pengahayatan agama oleh sebagian banyak orang yang tak mengenyam pendidikan agama. Akibat lemahnya pemahaman agama itu, mereka tidak merasa geli¬sah bahkan tak merasa perlu terhadap kitab suci, walaupun dia mengaku seorang yang beragama. 


Al Qur^an dan Pendidikan Anak 

Al Qur^an sebagaimana disebutkan dalam berbagai ayat, adalah merupakan petunjuk, penjelas, pembeda, sumber in¬spirasi bagi manusia dan lain-lain sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al Qur’an. Kitab suci ini diturunkan agar dijadikan petunjuk untuk mencapai derajad taqwa. Predikat taqwa adalah yang tertinggi bagi kehidupan manusia. Orang yang bertaqwa tidak saja selamat di dunia, tetapi juga selamat di akhirat. 

Ukuran keberhasilan hidup sebagaimana yang disebutkan dengan konsep taqwa ini, ternyata dalam kehidupan sehari-hari kurang dihayati. Kalaupun digunakan, sifatnya formal. Misalnya, seorang calon pejabat pemerintah dipersyaratkan bertaqwa kepada Tuhan. Persyaratan seperti itu dalam prakteknya tidak jelas. Ukuran-ukuran tentang ketaqwaan itu tak pernah dirumuskan, sehingga semua orang dianggap telah bertaqwa. 

Orang mengukur keberhasilan hidup dengan bermacam-macam ukuran sesuai dengan tradisi atau budaya masyarakatnya. Orang Jawa misalnya, seseorang disebut sukses dalam hidupnya secara gradual jika telah bekerja, kawin, memiliki rumah, kendaraan, simbul-simbul kekuatan, dan mampu menyalurkan hobi (kukilo). Maslow membagi kebutuhan manusia menjadi beberapa tingkat, mulai kebutuan yang bersifat fisiologis, rasa aman, kebutuhan memiliki dan sosial, penghargaan dan status, dan aktualisasi diri. 

Akhir-akhir ini, entah oleh sebab apa, sementara orang mulai sadar bahwa kebahagiaan tidak cukup diraih hanya karena berhasil mengumpulkan harta atau meraih jabatan tinggi. Sekalipun kelebihan di bidang terse¬but tetap dianggap penting, tetapi usuran itu bukan segalanya. Sementara orang, sementara ini sudah mulai cenderung merasakan betapa pentingnya kekayaan lain, berupa budi pekerti dan kedalaman sepiritual. Dalam berbagai pertemuan dengan orang tua, saya pernah mengajukan pertanyaan mana yang lebih dipentingkan jika kita harus memilih, memiliki anak yang cerdas tetapi berperilaku kurang terpuji atau anak yang akhlaknya terpuji tetapi kurang cerdas. Opsi cerdas dan terpuji sengaja tak dimunculkan, sebab semua orang tua pasti memilih alternatif itu. Ternyata, semua orang yang saya tanya lebih memilih anak berakhlak terpuji sekalipun kurang cerdas. Pilihan seperti ini menunjukkan bahwa faktor budi pekerti, akhlak, atau ketaqwaan lebih diutamakan dari lainnya. 

Al Qur’an memberikan tuntunan tentang bagaimana pendidikan seharusnya dijalankan. Al Qur’an memberikan tuntunan bagaimana pendidikan dijalankan, ternyata sangat komprehensif dan menarik. Jika kehadiran Rasulullah dipandang sebagai pembawa ajaran untuk menyelamatkan umat manusia dalam pengertian luas, atau tegasnya sebagai pendidik, maka tugas itu dijelaskan dalam al Qur’an. Tugas itu, pertama, ialah mengajak umatnya melakukan tilawah. Yang diserukan oleh Rasulullah adalah membaca, yang dalam hal ini adalah membaca jagad raya. Rasulullah atas petunjuk Allah swt., memahami betul tentang jagad raya ini. Bahkan ia tahu tidak saja benda-benda di bumi, melalui isro’ dan mi’raj, Ia mengetahui berbagai planit di jagad raya ini. Rasulullah melalui wahyu mengetahui tentang perputaran bumi, bulan dan matahari. Dalam perputaran benda-benda alam ini, siapa mengelilingi apa, berputar pada apa, semua diketahui oleh rasulullah lewat wahyu yang diterimanya. Umat Islam melalui wahyu yang diterimanya diajak memahami itu semua. Sekarang ini anak-anak di sekolah diajari físika, biologi, kimia, matemática, ilmu sosial, bahasa dan seterusnya. Jika pelajaran ini dipandang sebagai usaha memenuhi tutunan agar melakukan tilawah sebagaimana ajaran Rasulullah, akan menghasilkan semangat dan sekaligus kekaguman sehingga berdampak pada tumbuhnya keimanan. Sayang sekali, anak-anak saat ini belajar pengetahuan itu, kadangkala sebatas agar lulus ujian akhir 

Kedua, tugas Rasulullah sebagai pendidik adalah melakukan tazkiyah, artinya mensucikan. Agar anak manusia menjadi baik, luhur dan mulia maka ia harus disucikan baik lahir maupun batinnya. Secara lahir, anak harus dijaga makanannya, tidak saja makanan itu sebatas memenuhi syarat empat sehat lima sempurna. Lebih dari itu, makanan yang masuk dalam tubuh harus baik dan halal. Makanan seperti itu yang menjadikan jasmani menjadi sehat. Akan tetapi manusia sebagai makhluk yang memiliki akal, jiwa dan hati, harus disucikan. Melakukannya melalui upaya-upaya mendekatkan diri pada Allah, melalui kegiatan spiritual seperti banyak berdzikir, mengingat asma Allah, sholat lima waktu, dan sholat sunnah lainnya, berpuasa, hají, bergaul dengan orang-orang sholeh dan lain-lain. Aktivitas itu semua menjadikan jiwa raga kita bersih dan kemudian menjadi sehat. , Ketiga, taklim, yaitu mengajari Kitab Suci. Pendidikan hendaknya mampu membawa anak didik memahami kitab suci. Tradisi di masyarakat kita, belum tumbuh kesadaran secara merata bahwa memahami kitab suci adalah sebagai hal penting. Sementara ini baru sampai menganggap penting membaca kitab suci, yakni membaca al Qur’an. Kegiatan itu disebut mengaji. Jika anak sudah mau mengaji dianggap sudah beruntung, sekalipun tidak disertai pemahaman yang cukup. Padahal sesungguhnya, dalam petuah yang di-jawa-kan saja, dianjurkan agar semua orang mau “moco Qur’an angan-angan sakmanane, artinya petuah itu : membaca al Qur’an sambil menghayati maknanya. Keempat, Rasulullah mengajarkan hikmah atau kearifan. Seorang beragama harus arif dan bijak. Dalam melakukan sesuatu, dilihat dari berbagai sudut dan sisinya harus tepat. Apa yang diputuskan dan dilakukan selalu menguntungkan, menyelamatkan dan membahagiakan, dan sebisa-bisa tidak merugikan dan mencelakakan orang lain. Orang yang memiliki hikmah dan kearifan akan selalu menjadikan orang lain tentram dan terlindungi. 

Guru sebagai pendidik, menurut Islam sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah, tidak sebatas menjadikan anak didik tahu dan mengerti sesuatu yang diajarkan. Lebih dari itu, pendidik dituntut mampu menjadikan anak didik memiliki pengetahuan, karakter, pribadi dan perilaku yang mulia. Jika konsep ini yang kita kembangkan, maka tugas guru atau pendidik tidak sebatas menunaikan kewajiban, yaitu memberikan mata pelajaran di kelas, melainkan lebih luas dan komprehensif dari sebatas itu. Jika pemahaman pendidikan Islam seperti itu cakupannya, maka rasa-rasanya apa yang dilakukan oleh para Kyai di pesantren lebih sempurna daripada peran yang dilakukan guru di sekolah selama ini. Allahu a’lam. 

1 komentar 
M. Lutfi Mustofa
Membaca tulisan Bapak mengenai “al-Qur’an dan Pendidikan Anak Shaleh”, saya teringat dengan pandangan Gus Dur, saat berkunjung ke UIN Malang sebagai Presiden RI., mengenai pendidikan di negeri subur ini yang masih melahirkan “sarjana berat sebelah”, yakni manakala intelektualitasnya kuat namun spiritualitas lemah, atau sebaliknya jika spiritualitasnya tinggi maka intelektualitasnya rendah. Gambaran alumni pendidikan semacam ini bukan saja tidak sejalan dengan cita-cita pendidikan, lebih dari itu juga tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia dalam pandangan Islam sebagai abdi Tuhan (‘abdullah) dan sekaligus juga duta besar-Nya (khalifah) di muka bumi. 
Dalam kedudukan dan fungsi laten manusia seperti itulah, al-Qur’an menjelaskan mengapa Tuhan memuliakan manusia melebihi makhluq-Nya yang lain-lain, bahkan dari malaikat sekalipun. Hatta, alam semesta dengan segala isinya yang luar biasa ini pun diperuntukkan bagi manusia dalam menjalankan tupoksinya tersebut. Dengan kata lain, alam semesta yang tak terhingga ini (sebagai ayat kauniyah Tuhan) dan ditunjang dengan al-Qur’an (sebagai ayat qauliyah-Nya) merupakan instrumen dan media pendidikan bagi manusia untuk mencapai derajat kemuliaannya sebagai abdi dan duta Tuhan. 
Dari pandangan dasar tersebut, seperti yang Bapak sampaikan, maka pendidikan Islam seyogyanya memang mampu mengantarkan peserta didik dalam menginternalisasi (iqra’, dzikir, dan fikir), mengeksternalisasi (‘amal shaleh) dan mengobjektivasi (kreasi nyata) dari kedua ayat Tuhan tersebut. Sebagaimana juga disinyalir dalam al-Qur’an, bahwa akal, hati, dan anggota tubuh manusia merupakan fasilitas manusia yang dikaruniakan Tuhan untuk melakukan tiga momentum dialektis tesebut. Di sinilah sesungguhnya tanggung jawab pendidikan tidak lain adalah mengarahkan peserta didik untuk memfungsikan secara optimal fasilitas-fasilitas utama manusia itu. Misalnya, dalam meningkatkan daya berfikir manusia, maka cara kerja otak tidak cukup hanya disentuh sisi kirinya saja yang berkaitan dengan kemampuannya dalam melakukan analisa-analisa kritis dan empiris semata, tetapi pendidikan Islam juga harus menyiapkan konsep, metoda, dan instrumen yang sanggup menumbuhkan cara kerja otak kanan yang menjadikan manusia memiliki kemampuan untuk merasakan dan memahami hal-hal yang bersifat abstrak dan bermuatan nilai-nilai. 
Dengan begitu, ditunjang dengan kepemimpinan dan kepiawaian menejerial dalam mengembangkan institusi pendidikan Islam yang kokoh, maka bukan mustahil berbagai problem yang dirasakan menghimpit pendidikan nasional selama ini justru solusinya dapat ditemukan di lembaga-lembaga Pendidikan Islam, seperti di UIN Malang. Di sinilah saya melihat Pendidikan Islam memiliki peluang strategis dan sekaligus tantangan abadinya dalam menyelesaikan problematika substansial pendidikan nasional, yakni untuk melahirkan manusia-manusia yang utuh, berkarakter sebagai ‘abdullah dan khalifatullah, serta manusia yang manusiawi. Di dalam ciri seperti inilah sesungguhnya terdapat tanda-tanda para sarjana yang shaleh sebagaimana dicita-citakan Islam. Wallahu a’lam bi al-shawab

 

0 komentar "Al Qur’an dan Pendidikan Anak Sholeh", Baca atau Masukkan Komentar